Analisis Disparatis Simbolik Budaya Melemang Dua Daerah di Sumatera Bagian
Selatan
(Studi Kasus Kabupaten Muara Enim, Sumatera Selatan dan
Kabupaten Kaur, Bengkulu)
Dara Puja Kesuma, Eunike Angnetha Tobing
SMA Negeri Sumatera Selatan
Palembang, Sumatera Selatan, 30252,
Telp. 08526869793
Surel: darapujak@gmail.com
Abstrak
Indonesia merupakan negara kepulauan yang memiliki banyak
sekali kebudayaan, salah satunya adalah melemang.
Melemang adalah tradisi pembuatan lemang yang merupakan makanan tradisional yang
terbuat dari campuran ketan, santan dan bahan tambahan lainnya sebagai penikmat
rasa, contohnya pisang. Tak bisa dipungkiri bahwa melemang masih tetap lestari di Indonesia, contohnya di daerah
Muara Enim dan daerah Bengkulu. Dengan kunikan dari masing-masing tradisi melemang, dimana
daerah Muara Enim menonjolkan makna pada perayaan tahun baru Islam, dengan
sedikit perubahan pada tatanan acara ritual religinya. Sedangkan melemang di daerah Bengkulu menonjolkan
maknanya pada prosesi adat pernikahan tradisional, serta keasliannya masih
terjaga hingga sekarang.
Kata kunci: Melemang, Muara Enim, Bengkulu, tradisi
KATA PENGANTAR
Puji dan
syukur senantiasa kami ucapkan kehadirat Tuhan
Yang Maha Esa, karena berkat rahmat-Nya
penelitian dengan judul “Analisis Disparatis
Simbolik Budaya Melemang Dua Daerah
di Sumatera (Studi Kasus Kabupaten Muara Enim, Sumatera Selatan dan Kabupaten
Kaur, Bengkulu)” ini dapat terselesaikan sebagai mana mestinya dalam
rangka memenuhi proyek pembelajaran dance 2021. Terima kasih kami ucapkan kepada Bapak Iswan Djati
Kusuma, S.Pd., M.Si. selaku Kepala SMA Negeri Sumatera Selatan dan Ibu
Erpadellah, S.Pd. selaku guru pembimbing, orang tua, serta seluruh keluarga
besar SMA Negeri Sumatera Selatan yang telah memberikan banyak dukungan dalam
pembuatan karya tulis ini.
Kami menyadari bahwa karya tulis ini masih jauh dari
sempurna. Maka dari itu, kritik dan saran yang bersifat membangun sangat kami
harapkan. Semoga karya tulis ini dapat bermanfaat bagi para pembaca dan bisa
menjadi referensi untuk menemukan material baru sekaligus mengatasi masalah
lingkungan akibat pencemaran.
Muara Enim, Maret
2021
Tim Peneliti |
BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang Penelitian
Indonesia adalah negara kepulauan, terbentang dari
sabang sampai merauke dengan luas 1,905 juta km² dan 270,20 juta jiwa
penduduk (BPS, 2020), serta sekitar 1.340 suku bangsa
(BPS, 2011) yang tersebar di
17.504 ribu pulau, termasuk 6 pulau besar diantaranya Sumatera, Jawa,
Kalimantan, Sulawesi, dan Papua. Sehingga, tak heran jika Indonesia kaya akan
keberagaman dan kemajemukan seperti bahasa, tarian, rumah adat,
pakaian adat, makanan khas antar daerah, tradisi atau pun kebudayaan lain yang
berasal dari nenek moyang Indonesia zaman dahulu. Keberagaman
budaya dan tradisi lokal di Indonesia dinyatakan sebagai ekspresi simbolik,
sekaligus wujud akulturasi agama, etnik dan budaya lokal. Menurut KBBI, tradisi
memiliki pengertian sebagai adat
kebiasaan turun-temurun (dari nenek moyang) yang masih dijalankan dalam
masyarakat. Sehingga, tradisi dapat
dimaknai sebagai budaya leluhur yang bersifat turun menurun dari zaman ke
zaman.
Sama seperti daerah lainnya, daerah Muara Enim, Sumatera
Selatan yang terdiri dari suku Semendo, suku Enim, suku
Lampung, suku Belide dan suku-suku lainnya (Abdullah & Said dalam yani,
2019), mempunyai berbagai budaya ataupun tradisi yang diwariskan dari nenek
moyang dan masih dilestarikan hingga saat ini, mulai dari persoalan sosial, seperti prosesi pernikahan, hingga perihal
keagamaan, contohnya yaitu perayaan bulan muharram. Masyarakat desa Karang Raja dan desa Kepur, Kecamatan Muara Enim biasa
menjalani tradisi melemang menjelang
tahun baru islam, yakni 1-10 muharram sebagai bentuk perayaan. Namun
sebenarnya, awal mula tradisi ini yaitu penolakan terhadap bala bencana banjir
pada ketika desa tersebut sedang mengadakan sebuah acara. Lemang sendiri
memiliki pengertian sebagai makanan yang berasal dari ketan yang dimasak
dengan cara dimasukkan ke dalam bambu sebagai salah satu pelengkap dalam ritual
(Wawancara, Ismail dalam Manrizal,
2015).
Tradisi melemang dapat ditemukan
di provinsi lain, yakni Bengkulu, tepatnya di Kabupaten
Kaur. “Penduduk
asal Kabupaten Kaur adalah suku (orang) Kaur, Besemah, dan Semende. Suku Kaur
mendiami bagian selatan, suku Besemah (Pasemah) mendiami bagian utara dan
berbatasan langsung dengan Kabupaten Bengkulu Selatan, sedangkan suku Semende
di Kecamatan Muara Sahung dan sebagian Nasal yang berbatasan dengan Provinsi
Sumatera Selatan. Penduduk pendatang di Kabupaten Kaur cukup beragam antara
lain suku Minang, Melayu, Batak, Jawa, Lampung, Palembang dan lainnya. Sebagian
besar suku Jawa dahulunya merupakan transmigran yang tinggal di beberapa unit pemukiman
transmigrasi, baik yang masih dalam pembinaan maupun telah menjadi desa
definitif. Suku Batak, Minang, Palembang dan Lampung merupakan transmigran
spontan, dimana mereka datang karena kepentingan berdagang, perkawinan dan
lainnya Tradisi melemang
di daerah Kaur tetap disebut dengan melemang.
Disana, lemang sudah menjadi makanan
tradisional khas dari
dahulu dan kini.” (Refisrul, 2019) Berbeda dengan masyarakat Muara Enim
yang melakukan prosesi melemang saat
merayaan tahun baru Islam, suku Basemah di Kaur, Bengkulu, menjadikan tradisi melemang adalah tradisi wajib yang dilakukan saat
berlangsungnya prosesi pernikahan.
Mirisnya, tidak banyak generasi milenial yang mengetahui
keunikan dan makna dari tradisi melemang dikedua
daerah tersebut. Terlebih mereka yang hidup dan tinggal diperkotaan membuat
mereka sedikit sulit untuk mengikuti tradisi melemang dikarenakan banyaknya hambatan, seperti jarak ke daerah yang masih menghidupkan kebudayaan
atau tradisi melemang, kebudayaan
yang memudar, serta akses informasi yang sangat minim untuk dibaca.
Dengan demikian, peneliti ingin melakukan melakukan
penelitian untuk mengkaji tradisi melemang dari kedua daerah dan keunikan
tradisi melemang dari Muara Enim yang
dilakukan melalui survei kuisioner dan studi literatur dari berbagai jurnal,
buku, ataupun website terkait.
Alasan Penelitian
Penelitian ini penting dilakukan untuk membuat masyarakat, baik yang berada di daerah Muara Enim ataupun diluar paham mengenai tradisi melemang di Kabupaten Muara Enim, dan perbedaannya dengan di daerah lain, yakni Bengkulu. Juga, untuk menjaga rasa cinta terhadap adat istiadat daerah yang mulai memudar.
Rumusan MasalahPenelitian
1. Bagaimanakah
makna tradisi dan perbedaan melemang di
Kabupaten Muara Enim, Sumatera Selatan dengan tradisi melemang di Kabupaten Kaur, Bengkulu?
2. Bagaimana
nilai-nilai budaya dan agama dalam tradisi dan ritual melemang yang ada di Kabupaten Muara Enim, Sumatera Selatan?
Tujuan Penelitian
1. Menganalisis
makna tradisi dan perbedaan melemang di
Kabupaten Muara Enim, Sumatera Selatan dengan tradisi melemang di Kabupaten Kaur, Bengkulu.
2. Menganalisis nilai-nilai
budaya dan agama dalam tradisi dan ritual melemang
yang ada di Kabupaten Muara Enim, Sumatera Selatan.
1.5 Manfaat
Penelitian mengenai Analisis Disparatis Simbolik Budaya Melemang Dua Daerah di Sumatera (Studi
Kasus Kabupaten Muara Enim, Sumatera Selatan dan Kabupaten Kaur, Bengkulu) ini
diharapkan dapat memberi :
1.5.1 Manfaat Teoritis
Penelitian ini dapat digunakan untuk memperkaya khasanah ilmu dan sebagai referensi bagi penelitian selanjutnya yang berkaitan dengan masalah tradisi atau adat istiadat.
1.5.2 Manfaat Praktis
·
Dapat menjadikan
tradisi melemang ini sebagai daya
tarik wisatawan, baik dalam maupun luar Negeri untuk datang melihat setiap
tahunnya.
·
Bagi masyarakat
setempat, melalui hasil penelitian ini diharapkan dapat menjaga dan
melestraikan tradisi melemang.
·
Bagi peneliti,
penelitian ini merupakan pengalaman yang berharga dan dapat menambah
pengetahuan tentang kebudayaan daerah penulis sendiri.
·
Bagi masyarakat luas,
diharapkan bisa menambah wawasan mengenai tradisi melemang.
BAB II
METODOLOGI
Metode
Metode dalam penelitian ini adalah jenis metode pendekatan kualitatif, yang lazim
digunakan dalam penelitian kebudayaan dengan tujuan untuk mendapatkan data yang
lebih banyak dan pemahaman yang
mendalam. Metode kualitatif cenderung menggunakan analisis dan lebih
menonjolkan proses dan makna. Penelitian ini juga bersifat deskriptif, dengan menjabarkan adat melemang Kabupaten Muara Enim dan
Kabupaten Bengkulu yang disajikan
dalam bentuk deskripsi. Sehingga, instrumen yang dipilih yakni berupa survei
dengan rubrik kuesioner yang ditujukan pada 50 peserta didik kelas sebelas SMAN
Sumatera Selatan dan jurnal atau sumber terkait lain, yang nantinya akan dikaji
secara mendalam. Peneliti
memilih instrumen kueusioner karena kuesioner telah dianggap sebagai wawancara
tertulis. Kuisioner tersebut telah dirancang agar dapat diakses secara online
dan berjenis kuesioner tertutup. Peneliti juga sudah membuat beberapa
pertanyaan mengenai tradisi melemang
beserta jawaban alternatifnya.
Sehingga, Pengumpulan data dari sampel 50 peserta didik kelas sebelas SMAN
Sumatera Selatan relatif cepat, karena peneliti tidak perlu hadir pada saat
pengisian kuesioner.
Waktu Penelitian dan Tempat
Waktu penelitian dimulai dari 2 sampai 1 Maret 2021, di rumah masing-masing dengan mengandalkan teknologi yang tesedia untuk mengakses informasi di internet, seperti di jurnal dan website tertentu.
Tahapan Penelitian
BAB III
HASIL DAN PEMBAHASAN
3.1 Hasil dan Pembahasan Penelitian
3.1.1 Hasil Survei Kuesioner
Setelah
melakukan survei melalui google form,
didapat data sebagai berikut:
Berdasarkan
data diatas, terdapat 31 dari 52 sampel pelajar kelas sebelas yang masih belum
mengetahui apa itu lemang dan 21 lainnya sudah mengetahui pengertian melemang itu sendiri. Selain itu,
terdapat 39 pelajar belum mengetahui terdapat tradisi melemang ada yang berasal dari Muara Enim, sedangkan 13 lainnya
sudah mengetahui hal tersebut. Selanjutnya,
10 orang pelajar kelas sebelas mengetahui tradisi melemang tidak hanya ada di Muara Enim, namun juga ada di Bengkulu,
meskipun 42 pelajar lainnya masih belum mengetahuinya. Dari data tersebut pula,
kita dapat mengetahui hanya 2 dari 52 siswa yang mengetahui perbedaan
tradisi/keunikan dari tradisi melemang
dari kedua daerah tersebut.
Dengan
demikian, dapat kita simpulkan sebagian besar dari 52 sampel pelajar kelas XI
masih belum mengetahui secara mendalam mengenai tradisi melemang, baik dari daerah Muara Enim ataupun Bengkulu. Sehingga,
dibuat penelitian ini guna meningkatkan pengetahuan terhadap tradisi yang sudah
ada dari zaman lampau. Selain itu, penelitian ini juga dapat menjadi media pengenalan tradisi lokal kepada
masyarakat dilain wilayah kota atau bahkan dilai negara.
3.1.2 Hasil
Analisis Studi Literatur
·
Tradisi Melemang
Lemang merupakan makanan tradisional di Indonesia. Masyarakat
lokal lazimnya membuat lemang dari bahan baku berupa ketan, yang dimasukkan ke
dalam bambu dengan diberi santan lalu dibakar. Namun, bahan penambah cita rasa
nya terkadang berbeda-beda, berdasarkan mayoritas penduduknya dan sumber daya
alam yang dimiliki suatu daerah, atau bahkan mengikuti tradisi yang suudah berkembang sejak
lama, misalnya saja pisang, udang ataupun bahan lainnya.
Pembuatan makanan tradisional lemang disebut juga melemang. Tradisi melemang kerap
ditemukan di beberapa daerah di Indonesia, seperti di Aceh, Sumatera Barat, Sumatera Selatan,
Bengkulu, dan sebagaianya. Namun, berdasarkan anlisis terhadap berbagai jurnal,
umumnya tradisi melemang dilakukan
dengan tujuan untuk merayakan atau menyambut hari penting baik yang bersifat
sosial hingga keagamaan (Badriyah, 2020). Contohnya biasanya
dilakukan pada bulan Ramadhan (puasa), lebaran (Idul Adha), upacara perkawinan
(bimbang), panen padi dan lainnya.
·
Tradisi
Melemang di Muara Enim
Bebebrapa tradisi dan kesenian masih terasa sangat kental
di Muara Enim, salah satunya yaitu tradisi melemang
yang merupakan dari zaman nenek moyang atau masyarakat Muara Enim
menyebutnya dengan Puyang.
Tradisi melemang
dimaknai sebagai media penolak balak terhadap bencana, yakni banjir yang akan
melanda Desa Karang Raja dan Desa Kepur, Muara Enim. Disamping itu, tradisi ini
melambangkan rasa syukur atas nikmat berupa keselamatan yang telah Tuhan
berikan. Seperti contoh, Puyang santri
(Kromo Widjoyo) yang membuat 3 jenis lemang dengan warna yang berbeda-beda
sebagai penangkal dari berbagai mala petaka bencana alam banjir yang terjadi di
wilayah Sungai Enim pada tahun 1034 (Yani, 2019).
Tak sampai disitu, melemang rutin dilakukan oleh masyarakat Desa Karang Raja dengan
maksud merayakan tahun baru Islam,
tepatnya pada tanggal 10 Muharram yang didahului dengan beberapa ritual
keagamaan seperti Yasin, Istigashasah, doa
bersama dan juga ceramah. Namun seiring berkembangnya zaman, ritual keagamaan
tersebut telah ditinggalkan tanpa alasan yang pasti. Selain itu, proses melemang juga sudah mulai berubah dari
proses aslinya. Letak perubahannya yaitu pada proses pemasakan ketan, yang
awalnya memasak ketan dan bahan pembuatan lemang lainnya langsung di bambu,
kini pemasakan bahan tersebut menggunakan dandang, baru kemudian dimasukkan ke
dalam bambu, lalu dibakar, dengan alasan agar lebih tercampur rata dan matang
secara keseluruhan. Memang perubahan ini sangat disayangkan, karena mengurangi
tingkat kemurnian budaya lokal/tradisi dari Puyang
yang telah memprakarsainya. Namun, dalam pertimbangan keefektifan proses
masak, tentu saja langkah saat ini lebih baik digunakan.
Berbeda dengan Karang Raja, Desa Kepur melaksanakan
tradisi melemang setiap pukul 17.00
WIB hingga menjelang subuh pada tanggal 11 Muharram, yang keesokan harinya
dilanjutkan dengan berziarah ke makam nenek moyang dahulu, yakni Muhammad Daud
Temenggung (Puyang Temenggung) (Yani,
2019). Pada proses pembuatannya, dilakukan perlakuan yang sama seperti tradisi
melemang di Desa Karang Raja.
Terdapat beberapa nilai penting dari tradisi melemang yang dapat diambil, diantaranya yaitu silaturahmi yang
dapat terjalin ketika melakukan perayaan tahun baru Islam sembari menikmati
lemang bersama sekaligus dapat membangkitkan semangat untuk beribadah, yakni
menyemarakkan tahun baru Islam dan semua masyarakat, baik dari golongan muda
ataupun tua, orang rantau ataupun bukan, mereka tetap membuat lemang dengan
saling membantu satu sama lain, sehingga gotong royong tetap terjalin. Ditambah
lagi, tradisi bertukar atau bahkan memberi lemang ke tetangga membuat kita
belajar untuk saling berbagi. Berdasarkan penjabaran diatas, dapat dikatakan
tradisi melemang memiliki dampak
positif baik dari segi religi ataupun sosial di daerah Muara Enim.
·
Tradisi
Melemang di Bengkulu
Masyarakat Besemah di Kabupaten Kaur,
menganggap bahwa lemang merupakan makanan yang keberadaannya pertama kali
adalah di bumi Besemah pada abad ke-15, kemudian baru menyebar ke daerah lain di
Sumatera (Refisrul, 2019). Namun pada saat itu, lemang dengan
nama gemuk
dijadikan barang/ hantaran yang dibawa laki-laki ketika dan lemang dengan
nama lemang
perkulean digunakan untuk persediaan
makanan ketika melangsungkan prosesi acara pernikahan dengan nuansa tradisional
hingga sekarang. Menurut Refisrul (2019) terdapat nama-nama
untuk menyebut makanan lemang ini, diantaranya lemang pengantin, lemang
palayan, lemang bujang betuntut, lemang pelayan, lemang bakul fitrah, lemang
maulid, dan lemang selesai panen padi. Penamaan pada masing masing lemang didasari oleh konteks
masing masing keperluan atau acara.
Untuk proses
pembuatan lemang dari Bengkulu terbilang masih terjaga keaslianya. Hal ini
dikarenakan pada proses pembuatan lemang tidak digunakan dandang sebagai alat
yang mempermudah untuk mencampurkan sekaligus penanak ketan. Namun, untuk
bahannya sendiri masih sama seperti lemang pada umumnya.
Dengan demikian, selain nilai sosial, lemang memiliki makna tersendiri bagi suku Besemah yakni sebagai simbol sakral dari sebuah ikatan janji suci/pernikahan, penghargaan dan juga penghormatan dari calon pengantin pria kepada calon pengantin wanita.
3.2 Kesimpulan
Berdasarkan pemaparan diatas, dapat kita simpulkan bahwa
tradisi melemang masih lestari di
Indonesia, khususnya di Muara Enim dan Bengkulu dengan masing masing keunikan.
Keunikan dari tradisi melemang
daerah Muara Enim sendiri yaitu tradisi melemang
dapat berkontribusi penuh terhadap prosesi perayaan tahun baru Islam
disamping makna pada kebudayaan dan sosial, meskipun sebenarnya sudah mengalami
sedikit perubahan tatanan pada masa kini. Sedangkan tradisi melemang di daerah Bengkulu sangat
bermakna pada prosesi pernikahan disamping keagamaan dan kebudayaan, serta
masih keaslian dari tradisinya masih terjaga dengan baik.
3.3 Saran/Rekomendasi
Berdasarkan
temuan pada penelitian yang telah dilakukan maka kami dapat memberikan saran
sebagai berikut :
·
Untuk
Masyarakat Umum
Masyarakat
dapat memberikan kontribusi dan kepedulian yang besar dalam proses pewarisan
adat melemang sebagai kebudayaan yang kelestariannya harus di jaga.
·
Untuk
Masyarakat Adat
Masyarakat/tokoh-tokoh
adat diharapkan berperan lebih besar dalam mengajarkan generasi muda tentang melemang sehingga banyaknya
budaya-budaya asing yang saat ini terus berkembang tidak memengaruhi
nilai-nilai yang ada pada tradisi melemang.
·
Untuk
Pemerintahan di Kabupaten Muara Enim
Pemerintah
dapat memperhatikan perkembangan yang terjadi dalam acara melemang setiap pelaksanaannya, agar dapat memberikan kontribusi
aktif dalam upaya untuk melestarikan nilai-nilai sosial dan budaya yang
terdapat dalam acara adat tersebut.
·
Untuk
Peneliti Selanjutnya
Penelitian
selanjutnya diharapkan dapat mengkaji lebih dalam lagi mengenai nilai-nilai
lain yang terdapat dalam adat melemang,
sehingga selanjutnya dapat dijadikan sumber ilmu dan wawasan dalam berbagai
pengetahuan.
DAFTAR PUSTAKA
Yani, Z. (2019). Nilai-Nilai
Budaya dan Agama dalam Tradisi Melemang di Desa Karang Raja dan Desa Kepur,
Muara Enim, Sumatera Selatan. Jurnal
Multikultural & Multikultural.(15):313-324.
Refisrul. (2019). Fungsi Lemang dalam Upacara Perkawinan Suku Basemah di
Kabupaten Kaur Provinsi Bengkulu. Jurnal
Penelitian Sejara dan Budaya.2(15):23-256.
Badriyah, L.(2020). Empati dalam Tradisi Membakar “Tunam” dan “Melemang” saat
Malam Nujuh Likur pada Masyarakat Kabupaten Kaur.Jurnal Kebudayaan dan Sejarah Islam.1(5):53-70.
Manrizal, J.(2016).Tradisi
Sedekah Lemang Petikan Pada Saat Tahun Baru Islam di Desa Tanjung Kecamatan
Belimbing Kabupaten Muara Enim (1984-2015). Program Studi Pendidikan Sejarah.
Universitas Muhammadiyah Palembang: Skripsi
Tidak diterbitkan.
Na’im, A & Syaputra, H.(2010).Kwarganegaraan, Suku Bangsa, Agama, dan
Bahasa Sehari-Hari Penduduk Indonesia.Jakarta: Badan Pusat Statistik.
https://bps.go.id/ .2020. https://www.bps.go.id/pressrelease/2021/01/21/1854/hasil-sensus-penduduk-2020.html. (Diakses tanggal 16 Maret 2021).
www.globalplanet.news. 2019. http://www.globalplanet.news/berita/15593/menguatkan-ingatan-melemang-tradisi-masyarakat.
(Diakses tanggal 16 Maret 2021).
https://www.pemdeskarangraja.com. 2021. https://www.pemdeskarangraja.com/tradisi-melemang-di-karang-raja-muara-enim. (Diakses tanggal 16 Maret
2021).
www.sumateranews.co.id. 2018. https://sumateranews.co.id/hut-ke-72-muara-enim-bupati-gelar-melemang-rekor-muri/. (Diakses tanggal 16 Maret 2021).
www.palembang.tribunnews.com. 2018. https://palembang.tribunnews.com/2018/09/19/tradisi-melemang-peringatan-10-muharam-tahun-hijriyah-di-muaraenim. (Diakses tanggal 16 Maret 2021).
0 komentar:
Posting Komentar