Senin, 22 Maret 2021

Budaya melemang di sumsel

Analisis Disparatis Simbolik Budaya Melemang Dua Daerah di Sumatera Bagian Selatan

(Studi Kasus Kabupaten Muara Enim, Sumatera Selatan dan Kabupaten Kaur, Bengkulu)

Dara Puja Kesuma, Eunike Angnetha Tobing

SMA Negeri Sumatera Selatan

Palembang, Sumatera Selatan, 30252,

Telp. 08526869793

Surel: darapujak@gmail.com

 

Abstrak

Indonesia merupakan negara kepulauan yang memiliki banyak sekali kebudayaan, salah satunya adalah melemang. Melemang adalah tradisi pembuatan lemang yang merupakan makanan tradisional yang terbuat dari campuran ketan, santan dan bahan tambahan lainnya sebagai penikmat rasa, contohnya pisang. Tak bisa dipungkiri bahwa melemang masih tetap lestari di Indonesia, contohnya di daerah Muara Enim dan daerah Bengkulu. Dengan kunikan dari masing-masing tradisi melemang, dimana daerah Muara Enim menonjolkan makna pada perayaan tahun baru Islam, dengan sedikit perubahan pada tatanan acara ritual religinya. Sedangkan melemang di daerah Bengkulu menonjolkan maknanya pada prosesi adat pernikahan tradisional, serta keasliannya masih terjaga hingga sekarang.

Kata kunci: Melemang, Muara Enim, Bengkulu, tradisi 


KATA PENGANTAR

            Puji dan syukur senantiasa kami ucapkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat rahmat-Nya penelitian dengan judul Analisis Disparatis Simbolik Budaya Melemang Dua Daerah di Sumatera (Studi Kasus Kabupaten Muara Enim, Sumatera Selatan dan Kabupaten Kaur, Bengkulu) ini dapat terselesaikan sebagai mana mestinya dalam rangka memenuhi proyek pembelajaran dance 2021. Terima kasih kami ucapkan kepada Bapak Iswan Djati Kusuma, S.Pd., M.Si. selaku Kepala SMA Negeri Sumatera Selatan dan Ibu Erpadellah, S.Pd. selaku guru pembimbing, orang tua, serta seluruh keluarga besar SMA Negeri Sumatera Selatan yang telah memberikan banyak dukungan dalam pembuatan karya tulis ini.

Kami menyadari bahwa karya tulis ini masih jauh dari sempurna. Maka dari itu, kritik dan saran yang bersifat membangun sangat kami harapkan. Semoga karya tulis ini dapat bermanfaat bagi para pembaca dan bisa menjadi referensi untuk menemukan material baru sekaligus mengatasi masalah lingkungan akibat pencemaran.

 

Muara Enim, Maret 2021

 

 

Tim Peneliti

 

BAB I
PENDAHULUAN

Latar Belakang Penelitian

Indonesia adalah negara kepulauan, terbentang dari sabang sampai merauke dengan luas 1,905 juta km² dan 270,20 juta jiwa penduduk (BPS, 2020), serta sekitar 1.340 suku bangsa (BPS, 2011) yang tersebar di 17.504 ribu pulau, termasuk 6 pulau besar diantaranya Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, dan Papua. Sehingga, tak heran jika Indonesia kaya akan keberagaman dan kemajemukan seperti bahasa, tarian, rumah adat, pakaian adat, makanan khas antar daerah, tradisi atau pun kebudayaan lain yang berasal dari nenek moyang Indonesia zaman dahulu. Keberagaman budaya dan tradisi lokal di Indonesia dinyatakan sebagai ekspresi simbolik, sekaligus wujud akulturasi agama, etnik dan budaya lokal. Menurut KBBI, tradisi memiliki pengertian  sebagai adat kebiasaan turun-temurun (dari nenek moyang) yang masih dijalankan dalam masyarakat. Sehingga, tradisi dapat dimaknai sebagai budaya leluhur yang bersifat turun menurun dari zaman ke zaman.

Sama seperti daerah lainnya, daerah Muara Enim, Sumatera Selatan yang terdiri dari suku Semendo, suku Enim, suku Lampung, suku Belide dan suku-suku lainnya (Abdullah & Said dalam yani, 2019), mempunyai berbagai budaya ataupun tradisi yang diwariskan dari nenek moyang dan masih dilestarikan hingga saat ini, mulai dari persoalan sosial, seperti prosesi pernikahan, hingga perihal keagamaan, contohnya yaitu perayaan bulan muharram. Masyarakat desa Karang Raja dan desa Kepur, Kecamatan Muara Enim biasa menjalani tradisi melemang menjelang tahun baru islam, yakni 1-10 muharram sebagai bentuk perayaan. Namun sebenarnya, awal mula tradisi ini yaitu penolakan terhadap bala bencana banjir pada ketika desa tersebut sedang mengadakan sebuah acara. Lemang sendiri memiliki pengertian sebagai makanan yang berasal dari ketan yang dimasak dengan cara dimasukkan ke dalam bambu sebagai salah satu pelengkap dalam ritual (Wawancara, Ismail dalam Manrizal, 2015).

Tradisi melemang dapat ditemukan di provinsi lain, yakni Bengkulu, tepatnya di Kabupaten Kaur. Penduduk asal Kabupaten Kaur adalah suku (orang) Kaur, Besemah, dan Semende. Suku Kaur mendiami bagian selatan, suku Besemah (Pasemah) mendiami bagian utara dan berbatasan langsung dengan Kabupaten Bengkulu Selatan, sedangkan suku Semende di Kecamatan Muara Sahung dan sebagian Nasal yang berbatasan dengan Provinsi Sumatera Selatan. Penduduk pendatang di Kabupaten Kaur cukup beragam antara lain suku Minang, Melayu, Batak, Jawa, Lampung, Palembang dan lainnya. Sebagian besar suku Jawa dahulunya merupakan transmigran yang tinggal di beberapa unit pemukiman transmigrasi, baik yang masih dalam pembinaan maupun telah menjadi desa definitif. Suku Batak, Minang, Palembang dan Lampung merupakan transmigran spontan, dimana mereka datang karena kepentingan berdagang, perkawinan dan lainnya Tradisi melemang di daerah Kaur tetap disebut dengan melemang. Disana, lemang sudah menjadi makanan tradisional khas dari dahulu dan kini.” (Refisrul, 2019) Berbeda dengan masyarakat Muara Enim yang melakukan prosesi melemang saat merayaan tahun baru Islam, suku Basemah di Kaur, Bengkulu, menjadikan tradisi melemang  adalah tradisi wajib yang dilakukan saat berlangsungnya prosesi pernikahan.

Mirisnya, tidak banyak generasi milenial yang mengetahui keunikan dan makna dari tradisi melemang dikedua daerah tersebut. Terlebih mereka yang hidup dan tinggal diperkotaan membuat mereka sedikit sulit untuk mengikuti tradisi melemang dikarenakan banyaknya hambatan, seperti jarak ke daerah yang masih menghidupkan kebudayaan atau tradisi melemang, kebudayaan yang memudar, serta akses informasi yang sangat minim untuk dibaca.

Dengan demikian, peneliti ingin melakukan melakukan penelitian  untuk mengkaji tradisi melemang dari kedua daerah dan keunikan tradisi melemang dari Muara Enim yang dilakukan melalui survei kuisioner dan studi literatur dari berbagai jurnal, buku, ataupun website terkait.

Alasan Penelitian

Penelitian ini penting dilakukan untuk membuat masyarakat, baik yang berada di daerah Muara Enim ataupun diluar paham mengenai tradisi melemang di Kabupaten Muara Enim, dan perbedaannya dengan di daerah lain, yakni Bengkulu. Juga, untuk menjaga rasa cinta terhadap adat istiadat daerah yang mulai memudar.

Rumusan MasalahPenelitian

1.  Bagaimanakah makna tradisi dan perbedaan melemang di Kabupaten Muara Enim, Sumatera Selatan dengan tradisi melemang di Kabupaten Kaur, Bengkulu?

2.   Bagaimana nilai-nilai budaya dan agama dalam tradisi dan ritual melemang yang ada di Kabupaten Muara Enim, Sumatera Selatan?

Tujuan Penelitian

1.  Menganalisis makna tradisi dan perbedaan melemang di Kabupaten Muara Enim, Sumatera Selatan dengan tradisi melemang di Kabupaten Kaur, Bengkulu.

2.  Menganalisis nilai-nilai budaya dan agama dalam tradisi dan ritual melemang yang ada di Kabupaten Muara Enim, Sumatera Selatan.

1.5       Manfaat

Penelitian mengenai Analisis Disparatis Simbolik Budaya Melemang Dua Daerah di Sumatera (Studi Kasus Kabupaten Muara Enim, Sumatera Selatan dan Kabupaten Kaur, Bengkulu) ini diharapkan dapat memberi :       

1.5.1    Manfaat Teoritis

Penelitian ini dapat digunakan untuk memperkaya khasanah ilmu dan sebagai referensi bagi penelitian selanjutnya yang berkaitan dengan masalah tradisi atau adat istiadat.

1.5.2    Manfaat Praktis

·         Dapat menjadikan tradisi melemang ini sebagai daya tarik wisatawan, baik dalam maupun luar Negeri untuk datang melihat setiap tahunnya.

·         Bagi masyarakat setempat, melalui hasil penelitian ini diharapkan dapat menjaga dan melestraikan tradisi melemang.

·         Bagi peneliti, penelitian ini merupakan pengalaman yang berharga dan dapat menambah pengetahuan tentang kebudayaan daerah penulis sendiri.

·         Bagi masyarakat luas, diharapkan bisa menambah wawasan mengenai tradisi melemang.

 

BAB II
METODOLOGI

Metode

Metode dalam penelitian ini adalah jenis metode pendekatan kualitatif, yang lazim digunakan dalam penelitian kebudayaan dengan tujuan untuk mendapatkan data yang lebih banyak dan  pemahaman yang mendalam. Metode kualitatif cenderung menggunakan analisis dan lebih menonjolkan proses dan makna. Penelitian ini juga  bersifat deskriptif, dengan menjabarkan adat melemang Kabupaten Muara Enim dan Kabupaten Bengkulu yang disajikan dalam bentuk deskripsi. Sehingga, instrumen yang dipilih yakni berupa survei dengan rubrik kuesioner yang ditujukan pada 50 peserta didik kelas sebelas SMAN Sumatera Selatan dan jurnal atau sumber terkait lain, yang nantinya akan dikaji secara mendalam. Peneliti memilih instrumen kueusioner karena kuesioner telah dianggap sebagai wawancara tertulis. Kuisioner tersebut telah dirancang agar dapat diakses secara online dan berjenis kuesioner tertutup. Peneliti juga sudah membuat beberapa pertanyaan mengenai tradisi melemang beserta jawaban alternatifnya. Sehingga, Pengumpulan data dari sampel 50 peserta didik kelas sebelas SMAN Sumatera Selatan relatif cepat, karena peneliti tidak perlu hadir pada saat pengisian kuesioner.

Waktu Penelitian dan Tempat

Waktu penelitian dimulai dari 2 sampai 1 Maret 2021, di rumah masing-masing dengan mengandalkan teknologi yang tesedia untuk mengakses informasi di internet, seperti di jurnal dan website tertentu.

Tahapan Penelitian


BAB III
HASIL DAN PEMBAHASAN

3.1    Hasil dan Pembahasan Penelitian

3.1.1 Hasil Survei Kuesioner

Setelah melakukan survei melalui google form, didapat data sebagai berikut:





            Berdasarkan data diatas, terdapat 31 dari 52 sampel pelajar kelas sebelas yang masih belum mengetahui apa itu lemang dan 21 lainnya sudah mengetahui pengertian melemang itu sendiri. Selain itu, terdapat 39 pelajar belum mengetahui terdapat tradisi melemang ada yang berasal dari Muara Enim, sedangkan 13 lainnya sudah mengetahui hal tersebut.  Selanjutnya, 10 orang pelajar kelas sebelas mengetahui tradisi melemang tidak hanya ada di Muara Enim, namun juga ada di Bengkulu, meskipun 42 pelajar lainnya masih belum mengetahuinya. Dari data tersebut pula, kita dapat mengetahui hanya 2 dari 52 siswa yang mengetahui perbedaan tradisi/keunikan dari tradisi melemang dari kedua daerah tersebut.

            Dengan demikian, dapat kita simpulkan sebagian besar dari 52 sampel pelajar kelas XI masih belum mengetahui secara mendalam mengenai tradisi melemang, baik dari daerah Muara Enim ataupun Bengkulu. Sehingga, dibuat penelitian ini guna meningkatkan pengetahuan terhadap tradisi yang sudah ada dari zaman lampau. Selain itu, penelitian ini juga dapat menjadi  media pengenalan tradisi lokal kepada masyarakat dilain wilayah kota atau bahkan dilai negara.

3.1.2    Hasil Analisis Studi Literatur

·         Tradisi Melemang

Lemang merupakan makanan tradisional di Indonesia. Masyarakat lokal lazimnya membuat lemang dari bahan baku berupa ketan, yang dimasukkan ke dalam bambu dengan diberi santan lalu dibakar. Namun, bahan penambah cita rasa nya terkadang berbeda-beda, berdasarkan mayoritas penduduknya dan sumber daya alam yang dimiliki suatu daerah, atau bahkan mengikuti tradisi yang suudah berkembang sejak lama, misalnya saja pisang, udang ataupun bahan lainnya.

Pembuatan makanan tradisional lemang disebut juga melemang. Tradisi melemang kerap ditemukan di beberapa daerah di Indonesia, seperti  di Aceh, Sumatera Barat, Sumatera Selatan, Bengkulu, dan sebagaianya. Namun, berdasarkan anlisis terhadap berbagai jurnal, umumnya tradisi melemang dilakukan dengan tujuan untuk merayakan atau menyambut hari penting baik yang bersifat sosial hingga keagamaan (Badriyah, 2020). Contohnya biasanya dilakukan pada bulan Ramadhan (puasa), lebaran (Idul Adha), upacara perkawinan (bimbang), panen padi dan lainnya.

·         Tradisi Melemang di Muara Enim

Bebebrapa tradisi dan kesenian masih terasa sangat kental di Muara Enim, salah satunya yaitu tradisi melemang yang merupakan dari zaman nenek moyang atau masyarakat Muara Enim menyebutnya dengan Puyang.

Tradisi melemang dimaknai sebagai media penolak balak terhadap bencana, yakni banjir yang akan melanda Desa Karang Raja dan Desa Kepur, Muara Enim. Disamping itu, tradisi ini melambangkan rasa syukur atas nikmat berupa keselamatan yang telah Tuhan berikan. Seperti contoh, Puyang santri (Kromo Widjoyo) yang membuat 3 jenis lemang dengan warna yang berbeda-beda sebagai penangkal dari berbagai mala petaka bencana alam banjir yang terjadi di wilayah Sungai Enim pada tahun 1034 (Yani, 2019).

Tak sampai disitu, melemang rutin dilakukan oleh masyarakat Desa Karang Raja dengan maksud  merayakan tahun baru Islam, tepatnya pada tanggal 10 Muharram yang didahului dengan beberapa ritual keagamaan seperti Yasin, Istigashasah, doa bersama dan juga ceramah. Namun seiring berkembangnya zaman, ritual keagamaan tersebut telah ditinggalkan tanpa alasan yang pasti. Selain itu, proses melemang juga sudah mulai berubah dari proses aslinya. Letak perubahannya yaitu pada proses pemasakan ketan, yang awalnya memasak ketan dan bahan pembuatan lemang lainnya langsung di bambu, kini pemasakan bahan tersebut menggunakan dandang, baru kemudian dimasukkan ke dalam bambu, lalu dibakar, dengan alasan agar lebih tercampur rata dan matang secara keseluruhan. Memang perubahan ini sangat disayangkan, karena mengurangi tingkat kemurnian budaya lokal/tradisi dari Puyang yang telah memprakarsainya. Namun, dalam pertimbangan keefektifan proses masak, tentu saja langkah saat ini lebih baik digunakan.

Berbeda dengan Karang Raja, Desa Kepur melaksanakan tradisi melemang setiap pukul 17.00 WIB hingga menjelang subuh pada tanggal 11 Muharram, yang keesokan harinya dilanjutkan dengan berziarah ke makam nenek moyang dahulu, yakni Muhammad Daud Temenggung (Puyang Temenggung) (Yani, 2019). Pada proses pembuatannya, dilakukan perlakuan yang sama seperti tradisi melemang di Desa Karang Raja.

Terdapat beberapa nilai penting dari tradisi melemang yang dapat diambil, diantaranya yaitu silaturahmi yang dapat terjalin ketika melakukan perayaan tahun baru Islam sembari menikmati lemang bersama sekaligus dapat membangkitkan semangat untuk beribadah, yakni menyemarakkan tahun baru Islam dan semua masyarakat, baik dari golongan muda ataupun tua, orang rantau ataupun bukan, mereka tetap membuat lemang dengan saling membantu satu sama lain, sehingga gotong royong tetap terjalin. Ditambah lagi, tradisi bertukar atau bahkan memberi lemang ke tetangga membuat kita belajar untuk saling berbagi. Berdasarkan penjabaran diatas, dapat dikatakan tradisi melemang memiliki dampak positif baik dari segi religi ataupun sosial di daerah Muara Enim.

·         Tradisi Melemang di Bengkulu

Masyarakat Besemah di Kabupaten Kaur, menganggap bahwa lemang merupakan makanan yang keberadaannya pertama kali adalah di bumi Besemah pada abad ke-15,  kemudian baru menyebar ke daerah lain di Sumatera (Refisrul, 2019). Namun pada saat itu, lemang dengan nama gemuk dijadikan barang/ hantaran  yang dibawa laki-laki ketika dan lemang dengan nama lemang perkulean digunakan untuk persediaan makanan ketika melangsungkan prosesi acara pernikahan dengan nuansa tradisional hingga sekarang. Menurut Refisrul (2019) terdapat nama-nama untuk menyebut makanan lemang ini, diantaranya lemang pengantin, lemang palayan, lemang bujang betuntut, lemang pelayan, lemang bakul fitrah, lemang maulid, dan lemang selesai panen padi. Penamaan pada masing masing lemang didasari oleh konteks masing masing keperluan atau acara.

Untuk proses pembuatan lemang dari Bengkulu terbilang masih terjaga keaslianya. Hal ini dikarenakan pada proses pembuatan lemang tidak digunakan dandang sebagai alat yang mempermudah untuk mencampurkan sekaligus penanak ketan. Namun, untuk bahannya sendiri masih sama seperti lemang pada umumnya.

Dengan demikian, selain nilai sosial, lemang memiliki makna tersendiri bagi suku Besemah yakni sebagai simbol sakral dari sebuah ikatan janji suci/pernikahan, penghargaan dan juga penghormatan dari calon pengantin pria kepada calon pengantin wanita.

3.2       Kesimpulan

Berdasarkan pemaparan diatas, dapat kita simpulkan bahwa tradisi melemang masih lestari di Indonesia, khususnya di Muara Enim dan Bengkulu dengan masing masing keunikan. Keunikan dari tradisi melemang daerah Muara Enim sendiri yaitu tradisi melemang dapat berkontribusi penuh terhadap prosesi perayaan tahun baru Islam disamping makna pada kebudayaan dan sosial, meskipun sebenarnya sudah mengalami sedikit perubahan tatanan pada masa kini. Sedangkan tradisi melemang di daerah Bengkulu sangat bermakna pada prosesi pernikahan disamping keagamaan dan kebudayaan, serta masih keaslian dari tradisinya masih terjaga dengan baik.

3.3       Saran/Rekomendasi

Berdasarkan temuan pada penelitian yang telah dilakukan maka kami dapat memberikan saran sebagai berikut :

·         Untuk Masyarakat Umum

Masyarakat dapat memberikan kontribusi dan kepedulian yang besar dalam proses pewarisan adat melemang sebagai kebudayaan yang kelestariannya harus di jaga.

·         Untuk Masyarakat Adat

Masyarakat/tokoh-tokoh adat diharapkan berperan lebih besar dalam mengajarkan generasi muda tentang melemang sehingga banyaknya budaya-budaya asing yang saat ini terus berkembang tidak memengaruhi nilai-nilai yang ada pada tradisi melemang.

·         Untuk Pemerintahan di Kabupaten Muara Enim

Pemerintah dapat memperhatikan perkembangan yang terjadi dalam acara melemang setiap pelaksanaannya, agar dapat memberikan kontribusi aktif dalam upaya untuk melestarikan nilai-nilai sosial dan budaya yang terdapat dalam acara adat tersebut.

·         Untuk Peneliti Selanjutnya

Penelitian selanjutnya diharapkan dapat mengkaji lebih dalam lagi mengenai nilai-nilai lain yang terdapat dalam adat melemang, sehingga selanjutnya dapat dijadikan sumber ilmu dan wawasan dalam berbagai pengetahuan.

DAFTAR PUSTAKA

 

Yani, Z. (2019). Nilai-Nilai Budaya dan Agama dalam Tradisi Melemang di Desa Karang Raja dan Desa Kepur, Muara Enim, Sumatera Selatan. Jurnal Multikultural & Multikultural.(15):313-324.

Refisrul. (2019). Fungsi Lemang dalam Upacara Perkawinan Suku Basemah di Kabupaten Kaur Provinsi Bengkulu. Jurnal Penelitian Sejara dan Budaya.2(15):23-256.

Badriyah, L.(2020). Empati dalam Tradisi Membakar “Tunam” dan “Melemang” saat Malam  Nujuh Likur pada Masyarakat Kabupaten Kaur.Jurnal Kebudayaan dan Sejarah Islam.1(5):53-70.

Manrizal, J.(2016).Tradisi Sedekah Lemang Petikan Pada Saat Tahun Baru Islam di Desa Tanjung Kecamatan Belimbing Kabupaten Muara Enim (1984-2015). Program Studi Pendidikan Sejarah. Universitas Muhammadiyah Palembang: Skripsi Tidak diterbitkan.

Na’im, A & Syaputra, H.(2010).Kwarganegaraan, Suku Bangsa, Agama, dan Bahasa Sehari-Hari Penduduk Indonesia.Jakarta: Badan Pusat Statistik.

https://bps.go.id/ .2020. https://www.bps.go.id/pressrelease/2021/01/21/1854/hasil-sensus-penduduk-2020.html. (Diakses tanggal 16 Maret 2021).

www.globalplanet.news. 2019. http://www.globalplanet.news/berita/15593/menguatkan-ingatan-melemang-tradisi-masyarakat. (Diakses tanggal 16 Maret 2021).

https://www.pemdeskarangraja.com. 2021. https://www.pemdeskarangraja.com/tradisi-melemang-di-karang-raja-muara-enim. (Diakses tanggal 16 Maret 2021).

www.sumateranews.co.id. 2018. https://sumateranews.co.id/hut-ke-72-muara-enim-bupati-gelar-melemang-rekor-muri/. (Diakses tanggal 16 Maret 2021).

www.palembang.tribunnews.com. 2018. https://palembang.tribunnews.com/2018/09/19/tradisi-melemang-peringatan-10-muharam-tahun-hijriyah-di-muaraenim. (Diakses tanggal 16 Maret 2021).

 



 





0 komentar:

Posting Komentar