ANALISIS EKSISTENSI TRADISI
NGOBENG DI PALEMBANG
Disusun oleh :
1. Siti Ummi Kaltsum
(0041570816) – XI MIPA 1
2. Zerlinda Elvaretta (0040774413) – XI MIPA 1
3. Latifah Ainun Hasanah (004229425) – XI IPS
Guru Pembimbing : Erpadellah, S.Pd
DAFTAR ISI
3.1.3.
Penyebab Lunturnya Eksistensi Ngobeng di Era Globalisasi...................................... 7
3.1.4. Cara Mengembalikan Eksistensi Budaya
Ngobeng.................................................... 8
1. I Latar Belakang
Manusia adalah makhluk sosial
yang saling berinteraksi satu sama lain, yang
melakukan kebiasaan kebiasaan secara terus menerus dan dikembangkan sehingga menjadi sebuah kebudayaan.Kebudayaan adalah kompleks yang mencakup pengetahuan, kepercayaan, kesenian,
moral, hukum, adat istiadat, kemampuan - kemampuan serta kebiasaan - kebiasaan yang didapatkan oleh manusia sebagai
anggota masyarakat.
Indonesia merupakan negara yang
terdiri dari berbagai budaya, hal itu disebabkan Indonesia terdiri dari beragam
suku bangsa dan berbagai wilayah. Sumatera Selatan merupakan salah satu provinsi
di Indonesia yang kaya akan warisan budaya. Berbagai wilayah di daerah Sumatera Selatan
memiliki beragam budaya,
mulai dari tarian,
musik, makanan, dan pakaian. Walaupun
kaya akan warisan
budaya, ada beberapa
dari warisan budaya
di Sumatera Selatan
yang mulai tergerus
arus globalisasi. Kota Palembang adalah
ibu kota provinsi
Sumatera Selatan. Sebagai
ibu kota provinsi,
perkembangan kota Palembang mengalami
perkembangan globalisasi terpesat.
Sejalan dengan makin pesatnya
arus globalisasi, banyak sekali tradisi-tradisi yang hampir punah dan telah ditinggalkan oleh
masyarakatnya, sebagai contoh tradisi menghidangkan makanan bagi masyarakat Palembang dan
sekitarnya yang sering dikenal dengan istilah tradisi Ngobeng.Tradisi Ngobeng saat
ini telah banyak ditinggalkan oleh
masyarakatnya khususny kalangan anak
muda masih merasa asing. Padahal,
dalam tradisi Ngobeng sendiri banyak sekali
nilai-nilai kearifan lokal yang masih relevan untuk menjawab isuproblematika
yang dihadapi masyarakat saat ini seperti
isu disintegrasi, radikalisme dan terorisme, yang berujung pada perpecahan di masyarakat. Kearifan
lokal yang terdapat
dalam tradisi ngobeng
diantaranya mengajarkan nilai persatuan, tata cara berkomunikasi
dalam interaksi sosial, saling menghormati, membentuk karakter
gotong royong dan saling membantu.
1.2. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan
ngobeng dan bagaimana sejarahnya?
2. Bagaimana periode
eksistensi ngobeng?
3. Apa penyebab
lunturnya eksistensi ngobeng
di era globalisasi?
4. Bagaimana cara untuk mengembalikan eksistensi ngobeng di era globalisasi?
1.3. Tujuan
1. Memahami budaya
ngobeng dan sejarahnya.
2. Mengetahui periode
eksistensi budaya ngobeng.
3. Mengetahui penyebab
lunturnya kebudayaan ngobeng.
4. Mengembalikan eksistensi budaya ngobeng di era global
1.4. Manfaat
Manfaat dari penelitian ini dapat memahami sejarah lahirnya dan perkembangan budaya ngobeng di Palembang yang mulai terkikis oleh globalisasi. Serta penulis harap dapat melestarikan kebudayaan tersebut dengan mengimplementasikannya dalam kehidupan sehari- hari.
1.5. Urgensi Penelitian
Penulis
ingin menganalisis awal mula budaya ngobeng
dan penyebab runtuhnya kebudayaan tersebut di tengah era globalisasi serta mencari tahu aksi yang tepat untuk melestarikannya. Hal ini penting
dilakukan untuk mencegah
punahnya tradisi ini.
METODE PENELITIAN
2.1. Teknik Pengumpulan Data
2.3.1. Observasi
Penulis melakukan pengamatan atau obseervasi terhadap
eksistensi kebudayaan ngobeng di Palembang, serta mengamati tingkah
serta pola masyarakat. Informasi ini kemudian
dijadikan sebagai acuan dalam menulis
jurnal.
2.3.1. Penyebaran Angket
Penulis menyebarkan angket
melalui media google form untuk
mengetahui seberapa banyak masyarakat, terutama
generasi muda, yang mengetahui, menyaksikan atau melaksanakan tradisi
ngobeng.
2.3.2. Kajian Literatur
Penulis mencari jurnal-jurnal
serta artikel terkait yang dapat dijadikan sebagai referensi dalam menulis jurnal. Jurnal serta artikel yang
diambil dipetik dari sumber yang terpecaya.
2 2.2. Lokasi dan Waktu
Sehubungan
dengan kondisi pandemi serta menaati anjuran dari pemerintah, lokasi pembuatan jurnal serta penelitian adalah
tempat tinggal masing-masing penulis. Jurnal ini resmi dibuat pada 14 Maret 2021 serta penelitian dilakukan pada
11 Maret – 14 Maret tahun 2021.
BAB III
3.1. Hasil Penelitian
Hasil penelitian yang diperoleh dari setiap rumusan masalah, yaitu :
3.1.1. Sejarah dan Pengertian Ngobeng
Ngobeng (atau yang juga dikenal dengan istilah ngidang) adalah salah satu
tradisi asli masyarakat Palembang
dalam menjalani kebersamaan. Tradisi ini biasa dilakukan pada saat ada acara sedekahan, pernikahan dan lain sebagainya. Ngobeng sendiri dilakukan dengan cara bersusun
berdiri secara shaf, dengan mengoper
(maksudnya dari satu orang ke orang berikutnya) makanan/hidangan ke tempat
makan acara sedekahan. Tujuannya agar makanan
cepat sampai ke tempat yang disediakan dan beban orang yang mengangkat
makanan akan lebih ringan. Akan
tetapi ngobeng hanya bisa kita temui di tempat acara sedekahan yang tamunya
makan secara hidangan
(duduk lesehan, satu hidangan 8 orang).
Makanan yang disajikan dalam budaya ngobeng adalah makanan asli
Palembang, seperti daging malbi, nasi
kuning, sambal nanas, ayam kecap, sayur dan beberapa makanan lainnya. Selain itu beberapa lauk pauk
yakni opor ayam, kemudian "pulur”, yang terdiri dari buah-buahan dan acar.
Dalam budaya
ngobeng, ada syarat penataan makanan yang dilakukan secara silang, yakni lauk pauk harus
berdampingan dengan pulur. Hal ini dilakukan agar tata krama para tamu saat bersantap terjaga. Dengan syarat itu,
artinya tamu tidak perlu menggerakkan tangan terlalu jauh untuk menjangkau piring lauk. Ini juga sesuai syariat Islam
yang mengajarkan tamu untuk menjaga perilakunya. Kegiatan ini juga disebut
dengan besaji yaitu menghidangkan makanan dan
beringkes (merapikan semua
kebutuhan). Dengan cara seperti ini juga akan menciptakan suasana
yang penuh dengan
keakraban dan kekeluargaan. (Zanariah : 2019)
Dalam tradisi
ngobeng juga biasanya
selalu mendahulukan hidangan
untuk yang lebih
tua usianya atau tingkat strata sosialnya lebih tinggi. Hal ini
dilakukan sebagai upaya untuk menghormati tamu yang usianya
lebih tua atau tingkat strata sosialnya lebih tinggi.
Tradisi
ngobeng telah ada sejak masa Kesultanan Palembang Darussalam. Namun, sebenarnya tradisi ini berasal
dari Arab. Bedanya,
jika dalam budaya Arab semua hidangan
dijadikan satu, sementara dengan cara Palembang sendiri lauk-pauk semua terpisah tidak dijadikan satu. Di Palembang, kebudayaan ini masih melekat di daerah Tangga Buntung, 13- 14 Ulu yang masih mempertahankan tradisi tersebut ditengah kemajuan zaman.
3.1.2. Periode Eksistensi Ngobeng
Ngobeng
populer pada tahun 80 hingga 90-an. Dulunya, ngobeng selalu dilaksanakan jika ada acara seperti pernikahan, syukuran, sedekahan, khitanan
dan lain sebagainya. Namun, sejak era
globalisasi, ngobeng sudah sangat jarang terdengar.Tradisi ini tergerus dimakan zaman dan terhempas oleh akulturasi budaya
datangan. Padahal, tradisi ngobeng ditetapkan
oleh Direktorat Warisan dan Diplomasi Budaya sebagai Warisan Budaya
Takbenda dengan nomor registrasi 201800614 dan akan didaftarkan ke UNESCO.
Tradisi
Ngobeng sudah sangat jarang terlihat bahkan masyarakat asli kota Palembang sudah jarang menggunakan ngobeng dan
kambangan dikarenakan faktor kepraktisan dan
kemudahan yang diinginkan oleh masyarakat yang berkaitan dengan era
globalisasi. Dimana masyarakat modern
cenderung sibuk dan bersikap indivudualis. (Susanti : 2019)
Bahkan, berdasarkan hasil angket
mengenai pengetahuan tentang tradisi ngobeng yang telah disebarkan penulis sebelumnya, hanya segelintir kaum milenial di Kota Palembang
yang mengetahui dan pernah
menyaksikan tradisi ngobeng. Mayoritas dari kaum milenial tidak mengetahui apa itu tradisi
ngobeng.
Pada era millineal, budaya ini biasanya dilakukan saat mengenang wafatnya Sultan Mahmud Badaruddin II pada 26 November 1852 yang meninggal saat pengasingan Ternate. Warga Palembang pun sudah tidak banyak lagi yang melestarikan tradisi tersebut. Makanya, budaya ngobeng-ngidang menjadi acara rutin yang diselenggarakan setiap tahunnya.
3.1.3. Penyebab Lunturnya Eksistensi Ngobeng di Era Globalisasi
Ngobeng dan kambangan sendiri
merupakan salah satu budaya kota Palembang yang saat ini mulai tergerus oleh zaman yang
diakibatkan oleh globalisasi. Globalisasi menyebabkan mulai beralihnya masyarakat dari tata cara makan tradisional
ngobeng dan kambangan ke prasmanan
yang didukung oleh sikap masyarakat yang menginginkan kepraktisan. Adapaun faktor yang mempengaruhi terjadinya perubahan kebudayaan yaitu karena adanya penemuan/inovasi baru yang bermanfaat dan dapat diterima
oleh masyarakat, kemudian
dikarenakan adanya penyebaran unsur kebudayan dari masyarakat satu ke masyarakat lainnya
dan dikarenakan adanya akulturasi.
Dalam
penulisan ini kami telah melakukan sebuah penelitian guna memperkuat argumen kami mengenai ngobeng dan kambangan yang
mulai tergerus oleh zaman. kami melakukan sebuah
observasi dengan mewawancarai dan literasi digital. Dari hasil penelitian kami
dapat disimpulkan banyak warga yang
tidak mengetahui tentang ngobeng dan kambangan. Kami mencocokan hasil ini dengan beberapa alasan yang disampaikan
yang mengatakan bahwa ngobeng dan kambangan ini sendiri saat ini sudah sangat jarang terlihat
bahkan masyarakat asli kota Palembang sudah jarang menggunakan ngobeng dan
kambangan dikarenakan faktor kepraktisan
dan kemudahan yang diinginkan oleh masyarakat yang berkaitan dengan era globalisasi. Dimana masyarakat modern cenderung sibuk dan bersikap
indivudualis.
Ternyata yang menyebabkan ngobeng dan
kambangan ini mulai tergerus oleh zaman selain
karena adanya globalisasi juga disebabkan oleh faktor-faktor lainnya
diantaranya yakni Faktor
Ekonomi dimana biaya yang digunakan untuk acara ngobeng dan
kambangan sendiri memakan dana yang cukup besar dikarenakan biaya yang cukup besar ini masyarakat memilih alternatif lain yang biayanya
lebih murah dan hemat selain
faktor ekonomi yang menyebabkan ngobeng
dan kambangan ini mulai tergerus oleh zaman juga disebabkan oleh faktor dari masyarakatnya itu sendiri dimana Orang-orang saat ini sudah
tidak mau repot
lagi dan serba ingin cepat.
Dampak hilangnya makan ngobeng ini adalah nilai-nilai luhur akhirnya mulai hilang dan tergantikan
dengan pola hidup modern yang lebih individualis. Di kalangan anak muda kota Palembang, saat ini tidak banyak yang tahu
tentang ngobeng dan kambangan. jikalaupun ada
yang tahu, mereka hanya mengetahui namanya saja,
namun mereka tidak pernah melihat secara langsung
tata cara pelaksanaannya. Sebagian responden yang mengetahui tentang ngobeng
dan kambangan menyatakan bahwa mereka
mengetahuinya hanya melalui cerita yang disampaikan oleh nenek dan kakek mereka
yang telah berusia lanjut. Bahkan orang tua mereka pun sama halnya seperti mereka hanya
mengetahui ngobeng dan kambangan ini sebatas cerita saja namun tidak pernah melihatnya secara langsung.
3.1.4. Cara Mengembalikan Eksistensi Budaya Ngobeng
Ada beberapa
cara untuk untuk mengembalikan eksistensi budaya ngobeng. Diantaranya yaitu
mengenalkan kebudayaan ini pada generasi milenial. Hal ini karena generasi milenial
merupakan generasi yang memegang peranan
penting. Generasi ini akan meneruskan
perjuangan generasi-generasi sebelumnya untuk kemudian
memberikan contoh serta membuat gebrakan dan inovasi
baru untuk generasi
selanjutnya.
Cara untuk mengenalkan kepada generasi
milenial akan pentingnya menjaga eksistensi budaya ini adalah menyelipkan tradisi ini pada
pagelaran kebudayaan. Jadi, tidak melulu soal
kesenian, pegelaran kebudayaan bisa menampilkan tradisi-tradisi lokal
yang hampir punah. Selain itu,
generasi milenial perlu diingatkan akan pentingnya menjaga budaya ngobeng dengan menjabarkan manfaat dari tradisi
ini, yaitu menjaga erat silaturahmi, bentuk gotong royong dan kerja sama, serta menjaga tata krama antar tamu.
PENUTUP
4 4.1. Kesimpulan
Ngobeng (atau yang juga dikenal dengan istilah ngidang) adalah salah satu tradisi
asli masyarakat Palembang dalam
menjalani kebersamaan. Tradisi ini biasa dilakukan pada saat ada acara sedekahan, pernikahan dan lain sebagainya. Ngobeng
sendiri dilakukan dengan
cara bersusun berdiri
secara shaf, dengan mengoper (maksudnya dari satu orang ke orang berikutnya)
makanan/hidangan ke tempat makan acara sedekahan. Tujuannya agar makanan cepat sampai ke tempat yang disediakan dan
beban orang yang mengangkat makanan akan lebih
ringan. Akan tetapi ngobeng hanya bisa kita temui di tempat acara sedekahan
yang tamunya makan secara hidangan
(duduk lesehan, satu hidangan 8 orang). Makanan yang disajikan dalam budaya ngobeng adalah makanan asli Palembang,
seperti daging malbi, nasi kuning,
sambal nanas, ayam kecap, sayur dan beberapa makanan lainnya. Selain itu
beberapa lauk pauk yakni opor ayam, kemudian "pulur”, yang terdiri dari buah-buahan dan acar. Budaya
ini eksis pada tahun 80 hingga 90-an.
Namun, budaya ini kini telah tergerus oleh zaman dan beragam budaya datangan.
4.2. Saran dan Rekomendasi
Diharapkan pembaca dapat memetik manfaat dari jurnal ini.
Terutama para generasi muda sang penerus bangsa, diharapkan dapat melestarikan
budaya-budaya Indonesia yang kini hampir punah.
Tak hanya Ngobeng, namun juga ribuan tradisi lainnya. Pelihara tradisi ini
mulai dari sekarang dan teruskan
sampai ke generasi selanjutnya hingga tradisi ini tetap terjaga. Kalau bukan kita, siapa lagi? Kalau tidak sekarang,
kapan lagi?
DAFTAR PUSTAKA
Muntaha, S., & Feny, M.
(2019, November 26). Ngobeng-Ngidang, Tradisi Kesultanan Darussalam Jadi Budaya
Palembang. IDN Times Sumsel. Dipetik
Maret 14, 2021, dari https://sumsel.idntimes.com/travel/journal/feny-agustin/ngobeng-ngidang-tradisi- kesultanan-darussalam-jadi-budaya-palembang/4
Susanti, H. d. (2019). NGOBENG
DAN KAMBANGAN : WARISAN BUDAYA YANG MULAI TERGERUS ARUS GLOBALISASI . SEMINAR NASIONAL SEJARAH
IV, 62-64.
Tamaddun. (2019). Jurnal Kebudayaan dan Sastra Islam, 48.
Trisnawati, L. (2019, November
27). Tradisi Ngobeng Atau Ngidang. Diambil
kembali dari Tribun Sumsel Wiki:
https://tribunsumselwiki.tribunnews.com/2019/11/27/tradisi- ngobeng-atau-ngidang
UWBTB, A. (2018). Warisan Budaya Takbenda : Ngobeng. Diambil kembali dari Kemdikbud: https://warisanbudaya.kemdikbud.go.id/?newdetail&detailTetap=614
0 komentar:
Posting Komentar